12.31.00
0

Tidakkah kau dengar jeritanku? Aku memanggilmu, sayangku... Cepatlah datang selamatkan aku! Sebelum sepi ini semakin garang menikamku. Sungguh hatiku hampir mati... Tidakkah kau merasakannya?

Malam semakin larut…Tiada sedikit pun udara berhembus kudengar di luar. Burung aneh yang biasa melintas pun tak terdengar kelepak sayapnya. Malam ini, di malam menjelang dini hari, hanya terdengar bunyi mesin komputer. Yang menghembus-hembuskan udara panasnya hingga ventilasi meleleh.

Suara mesin komputer ini rasanya mirip dengan suara hatiku. Aku mulai sayup-sayup bisa mendengarnya. Ia menjerit dan panas… melelehkan dinding kesabaran yang melingkar kuat beberapa hari ini. Ada yang salah dengan hatiku… sikap dingin yang tampak dari luar, sebenarnya hanya kamuflase.

Aku cemburu… Dan aku kangen sekali… Dan aku tidak tahu bagaimana caranya melimpahkan selain pada tulisan ini. Sungguh aku tidak bisa lagi berpikir jernih. Lantas, bagaimana kah caranya aku hidup lagi? Coba katakan padaku!

Dinding es semakin mencair. Melankolinya naik ke jantung… Membuatku semakin nyeri merasakan sakit hati… Tahukah kau sayang, bahwa hati di dalam masalah percintaan itu bukanlah liver… Dia adalah jantung dan area tengah dada… Tempat favoritmu menyandarkan kepala.

Hati adalah di mana pusat getaran cinta berasal. Dan malam ini, pada kelengangan yang semakin menggerus kewarasan. Melankoli semakin merembes naik, membuat hatiku terombang-ambing seperti akan putus.

Kalau hatiku putus… Apa yang akan terjadi? Mungkin besok kau takkan lagi mendapatiku tersenyum. Wajah yang kaupuji sebagai orang dewasa yang terperangkap dalam tubuh balita cantik, itu semua akan lenyap. Tak bersisa lagi.

Aku benar-benar sekarat… Iya…! Sayangmu ini bakal sekarat dan hampir menghembuskan nafas terakhirnya. Jika memang alunan nada kesunyian itu mulai memenuhi ruang batin.

Nada-nada yang menyapa dari seberang lorong waktu. Tempat di mana jiwa menunggu kepulangannya pada alam sejatinya. Sebuah tempat di mana melankoli dan cinta berasal. Ruh menguap membumbung meninggalkan jasad, untuk menjumpai para leluhurnya.

Aku kangen padamu… Tidakkah kau mendengarnya? Apakah kau pura-pura tidak mendengarnya? Bahkan, biasanya perubahan tempo dari nafasku saja bisa membuatmu mendekat secepat kilat. Ini… bahkan aku sudah bernafas layaknya orang dehidrasi, kau tak kunjung muncul.

Di mana dirimu, oh cintaku? Tidakkah kau ingin segera membopong jasadku ini… Ke padang rumput di depan sana… Aku butuh cahaya bintang gemintang untuk menyedot semua melankoliku, membuangnya ke angkasa sana, biar menjadi makanan dari si katai merah.

Di manakah kamu, sayang? Aku butuh pelukanmu, saat ini juga… Hatiku benar-benar sudah tidak kuat menahan beban ini. Aku sakit… dan sejak awal, bukankah Tuhan menugaskanmu untuk menjagaku? Sejak awal… saat di mana ruh kita masih bersemayam di Surga-Nya. Cepatlah kembali…! Sebelum gadismu semakin tertikam sepi, sepi yang juga kau benci.

0 komentar:

Posting Komentar